Pentingnya Trauma Healing Korban Pelecehan Seksual

Artikel ini mengupas lengkap tentang mengenali dan mengatasi trauma healing korban pelecehan dengan tepat. Menjadi korban pelecehan seksual sering kali menjadi pengalaman yang tidak mungkin terlupakan oleh si korban.

Kejadian tersebut dapat menjadi trauma yang berkepanjangan dan menancap keras di hati. Bahkan dapat menganggu aktivitas sehari-hari. Untuk itu, dibutuhkan penanganan trauma healing korban pelecehan yang efektif.

Terdapat beberapa metode trauma healing korban pelecehan yang dapat dilakukan dengan menganalisis terlebih dahulu kondisi dan kebutuhan korban.

Namun pada dasarnya tidak ada perbedaan terapi khusus untuk memulihkn keadaan korban baik perempuan maupun laki-laki.

Terapi yang dilakukan akan cukup memakan waktu untuk benar-benar memulihkan korban. Oleh sebab itu, dibutuhkan kesabaran supaya korban dapat menerima dan berdamai dengan dirinya sendiri.

Fenomena Kasus Pelecehan Seksual

Masih ingat dengan Reynhard Sinaga? Warga Negara Indonesia ini menggegerkan publik atas kasus pemerkosaan terhadap pria yang dilakukannya. Selain itu, dari dalam negeri, kasus pelecehan seksual di Bandara Indonesia yaitu Bandara Soekarno-Hatta, kembali terkuak.

Hal ini menjadi pemberitaan viral karena salah seorang korban menceritakan kembali bagaimana kronologi pelecehan yang dialami melalui media sosial Twitter.

Ada juga kasus pemerkosaan berujung pembunuhan di Sukabumi, Jawa Barat, dengan korban anak perempuan berusia lima tahun pada 2019 silam.

Pelakunya merupakan kedua kakak tirinya sendiri yang ternyata memiliki kecanduan terhadap video porno. Nahasnya, pembunuhan ini juga dilakukan dan dibantu oleh Ibu tirinya yang memiliki kecanduan serupa dengan anak laki-lakinya.

Trauma Healing Korban Pelecehan
Ilustrasi trauma healing korban pelecehan – Sumber: lifestyle.bisnis.com

Terbaru, pada awal Juli 2020, pelecehan seksual terjadi lagi di salah satu kedai kopi global asal Amerika Serikat. Bermodalkan rekaman kamera pengawas (CCTV), dua karyawan kedai tersebut mengintip payudara pelanggan.

Walaupun telah ada sanksi yang diberikan berupa pemecatan, kasus seperti ini tetap mengkhawatirkan. Hal ini menguak fakta bahwasannya, tindak pelecehan seksual sangat beragam dan ruang aman bagi perempuan, terutama, semakin sempit adanya.

Kasus diatas merupakan segelintir rangkaian kasus pelecehan seksual terhadap pria maupun wanita yang terjadi didalam dan luar negeri. Pelecehan seksual merupakan tindakan seksual atau kecenderungan bertindak seksual yang bersifat intimidasi nonfisik atau fisik.

Pelecehan seksual ringan atau berat yang dilakukan juga merupakan tindakan menyerang dan merugikan seorang individu dalam hak privasi dan seksualitas. Buruknya, pelaku pelecehan seksual yang terdeteksi merupakan orang-orang yang kenal dan dekat dengan korban itu sendiri.

Pelecehan seksual pada dasarnya mencakup setiap tindakan maupun perilaku yang terdiri dari muatan seksual yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok. Jika terjadi, hal ini dapat menimbulkan efek negatif, seperti rasa malu, terhina, kehilangan harga diri dan kehilangan kesucian.

Maraknya kasus pelecehan seksual di tahun 2020, membuat publik kembali membuka mata, bahwasannya ini bukan masalah sepele. Tentunya, pengetahuan dan sikap waspada harus tertanam dalam diri tiap individu terkait kasus pelecehan dan faktor penyebabnya.

Terutama, mengetahui bahwa, pelecehan seksual tidak hanya berupa tindakan fisik, tapi juga dapat dilakukan secara verbal (ucapan).

Trauma Healing Korban Pelecehan
Pentingya trauma healing korban pelecehan – Sumber: jakarta.tribunnews.com

Lebih jelasnya, pelecehan seksual ini terbagi dalam dua kategori tindakan, yakni pelecehan secara fisik dan pelecehan secara lisan bahkan isyarat. Bentuk pelecehan secara fisik atau non-verbal meliputi sentuhan, rabaan, dan kontak fisik lainnya.

Sedangkan pelecehan yang berbentuk kata-kata termasuk ke dalam pelecehan seksual verbal. Perlu diketahui, pelecehan seksual secara verbal dapat berkembang menjadi komentar buruk dan hinaan yang membuat korban merasa direndahkan.

Pahitnya, pelecehan seksual secara verbal yang dilakukan melalui media sosial atau cyber harrasment, dapat dilaporkan ke pihak terkait. Salah satu contoh kasus ini sempat dialami oleh penyanyi pop-dangdut Maulidia Oktavia atau yang akrab disapa Via Vallen.

Jika ditelisik lebih lanjut, kasus pelecehan seksual di kedai kopi masuk kedalam kategori pelecehan secara verbal. Ini dibuktikan dari adanya cat-calling terhadap bagian tubuh korban yang menjadi objek pelecehan.

Sementara itu, kasus Reynhard, serta pelecehan di Bandara dan Sukabumi, dikategorikan sebagai pelecehan non-verbal. Penting diketahui, bahwa baik pelecehan secara verbal maupun non-verbal itu dapat dimanfaatkan sebagai bahan ancaman pada korban kapanpun.

Menurut data dari Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan (CATAHU), pada 2019 lalu, kekerasan seksual terhadap perempuan berjumlah 431.471 kasus. Sementara itu, berdasarkan survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA), 1 dari 10 (11%) laki-laki pernah mengalami pelecehan diruang publik.

Lebih lengkapnya, Komnas Perempuan menyebutkan bahwa setiap dua jam sekali terdapat kasus sebanyak tiga perempuan Indonesia yang mengalami kekerasan seksual.

Dalam perkara pelecehan seksual pada anak-anak, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyebutkan terdapat 350 kasus pada tahun 2019. Hal ini meningkat drastis sejak tahun 2016 yang hanya berjumlah kurang dari 100 kasus pelecehan pada anak.

Beberapa tempat seperti rumah tinggal, tempat kerja, fasilitas umum dan medis, serta tempat pendidikan menjadi lokasi kekerasan seksual terjadi. Catatan Tahunan 2019 Komnas Perempuan menyebutkan sebanyak 66 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terjadi di wilayah tempat tinggal.

Lain halnya dengan pelecehan seksual dengan korban laki-laki. Dikutip melalui Tirto.id, US Equal Employment Opportunity Commision (EEOC), pada 2011 lalu, 16,1% kasus pelecehan seksual dilaporkan oleh laki-laki.

Kasus pelecehan seksual tersebut rata-rata terjadi di ruang pergaulan dan tempat kerja. Hal ini membuktikan bahwasannya, kekerasan seksual dapat dilakukan dimana, kapan, dan oleh siapa pun.

Penting diketahui, banyak hal atau faktor yang dapat mendorong seseorang melakukan tindak pelecehan seksual. Faktor tersebut, antara lain, pengaruh lingkungan sosial yang buruk, kekuasaan tinggi, suasana yang mendukung, hingga memiliki perilaku seks yang menyimpang.

Tapi, yang paling utama adalah ketidakmampuan pelaku mengontrol hawa nafsunya sehingga berani melakukan pelecehan hanya untuk kepuasan pribadi. Beragam tindak pelecehan seksual yang terjadi pun tentu akan meninggalkan dampak pada korban, baik secara fisik maupun psikologis.

Dalam jangkauan aspek atau dampak psikologis, kasus pelecehan seksual yang terjadi pada korban dapat menimbulkan trauma berkepanjangan. Beberapa jenisnya antara lain, depresi dan gangguan makan yang berasal dari penyalahan diri hingga bentuk pelampiasan atas trauma yang dialami.

Lalu, sindrom trauma perkosaan (RTS) yang dimana korban dapat mengalami ketakutan akan seks hingga kehilangan gairah dan minat seksual. Terakhir, ada disosiasi, yaitu bentuk pelepasan diri dari kenyataan (realitas) yang bisa terjadi dalam bentuk amnesia sebagian hingga kepribadian ganda.

Selain menyerang psikologis, pelecehan seksual juga tentu berdampak pada kondisi fisik. Mulai dari kesehatan fisik yang buruk, masalah atau gangguan somatis seperti nyeri, sakit perut, dan gangguan pernapasan, hingga penyakit kronis.

Beragam dampaknya jelas membuktikan bahwa korban butuh trauma healing korban pelecehan, proses penyembuhan dan pendampingan khusus, untuk melanjutkan hidup. Tentunya, trauma healing korban pelecehan ini harus sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing dari korban.

Baca juga: Metode Trauma Healing pada Anak

PSTD dan Trauma Healing Korban Pelecehan

Trauma Healing Korban Pelecehan
Trauma healing korban pelecehan – Sumber: newsmaker.tribunnews.com

Dari semua itu aspek atau dampak fisik maupun psikologis, terdapat satu jenis trauma atau gangguan yang paling sering dialami oleh korban. Gangguan tersebut merupakan sejenis gangguan stress yang seringkali disebut Gangguan Stress Pasca Trauma (Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD).

PTSD  merupakan sindrom kecemasan, ketidaktentuan emosional, dan labilitas autonomik diluar batas ketahanan orang biasa. Sindrom ini dapat menyerang siapa saja tanpa memandang usia dan jenis kelamin, yang memiliki atau mengalami kejadian traumatik. Termasuk salah satunya adalah korban pelecehan seksual.

National Institute of Mental Health mendefinisikan PTSD sebagai gangguan kecemasan setelah mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya.

Beragam peristiwa yang menimbulkan trauma ini dapat berupa bencana alam, kecelakaan, hingga kekerasan seperti halnya pelecehan seksual. Perlu diketahui, bahwa Post Traumatic Stress Disorder ini memiliki tipe gejala yang patut diwaspadai.

Beberapa gejala PTSD yaitu, pertama, pengulangan pengalaman trauma dimana korban mengalami flashback, nightmare, hingga reaksi emosional yang berlebihan. Kedua, penghindaran terhadap aktifitas, orang, tempat, dan percakapan terkait peristiwa yang dialami, termasuk hilangnya minat pada semua hal.

Ketiga, meningkatkan sensitifitas, seperti sulit mengendalikan emosi, sulit tidur, dan susah berkonsentrasi. Tipe gejala tersebut perlu diperhatikan secara lebih kepada para korban tentunya.

Bagi korban pelecehan seksual yang menderita Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), terdapat dua macam terapi trauma healing korban pelecehan. Terapi tersebut adalah farmakoterapi dan psikoterapi.

Farmakoterapi merupakan terapi obat dimana hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal. Beberapa jenis obatnya pun khusus dan sesuai dengan yang diresepkan sebagai obat yang sudah lama (untuk pengobatan lanjutan).

Lain halnya dengan pengobatan psikoterapi, dimana pengobatannya dilakukan bersama para terapis sesuai dengan tipe-tipe psikoterapi yang menjadi acuan. Terdapat tiga tipe psikoterapi, antara lain, Anxiety Management, Cognitive Therapy, dan Exposure Therapy.

Melalui Anxiety Management, terapis melatih dengan cara relaxation, breathing, dan assertiveness training, positive thinking, self-talk, dan thought stopping. Sedangkan dalam Cognitive Therapy, terapis membantu merubah pikiran dan perasaan tidak rasional menjadi pikiran yang realistis.

Untuk tipe Exposure Therapy, yang dilakukan terapis adalah membantu menghadapi hal-hal terkait peristiwa yang dapat menimbulkan ketakutan yang tidak realistis. Selain ketiga tipe terapi tersebut, ada juga terapi bermain (Play Therapy) yang dikhususkan untuk mengobati trauma pada anak.

Itu dia beberapa jenis trauma healing korban pelecehan yang dapat dikhususkan untuk korban pelecehan seksual baik laki-laki maupun perempuan. Namun, masih ada cara-cara sederhana yang dapat diterapkan untuk mengatasi trauma selain yang telah dibahas diatas.

Beberapa caranya yaitu, terbuka dengan peristiwa negatif yang dialami dan berbagi ke orang yang dipercaya. Lalu mengikuti support group dan kegiatan sosial untuk meredakan stress, hingga olahraga rutin untuk membantu mengelola emosi.

Tapi, untuk dampak secara fisik yang menimpa para korban, tentunya trauma healing korban pelecehan harus diimbangi dengan konsultasi khusus.

Sudah banyak dokter spesialis yang menjadi tempat penanganan dan penyembuhan dampak fisik yang dialami korban pelecehan seksual. Terlebih memang jika diacuhkan, dampak-dampak tersebut akan membahayakan kesehatan jiwa dan mental korban.

Selain itu, menanggapi kasus pelecehan seksual yang juga terjadi pada anak dibawah umur. Pemerintah juga menekankan beragam upaya preventif untuk mencegah dan mengurangi angka kekerasan dan pelecehan seksual.

Upaya-upaya yang melibatkan pihak keluarga, sekolah, dan masyarakat diharapkan dapat memberikan kontribusi yang cukup berdampak nantinya.

Tentunya kembali lagi, masalah atas kasus pelecehan seksual ini tidak dapat dianggap remeh. Meningkatnya kasus dalam satu hari atau satu jam serta minimnya pengetahuan untuk proteksi diri merupakan hal yang dapat jadi bukti.

Publik tidak boleh tutup mata akan kasus seperti ini, publik harus peka dan berani mengatasi pelecehan seksual di negeri ini. Pasalnya, tidak akan ada yang tahu, siapapun dan kapanpun dapat mengalami pelecehan seksual jika tak mawas diri.

Penting untuk diketahui bahwa, setiap kasus pelecehan seksual dapat dilaporkan kepada pihak dan layanan pengaduan terkait. Jangan takut untuk bersuara jika mengalami atau menyaksikan pelecehan seksual yang terjadi kepada keluarga dekat bahkan orang yang tak dikenal.

Selain itu, korban yang sudah mengalami trauma hendaknya segera diterapi dan dipulihkan. Trauma healing korban pelecehan sangat diperlukan untuk membangun kembali rasa percaya diri dan keikhlasan menerima diri sendiri.

Editted: 16/06/2021 by IDNarmadi.

Tinggalkan komentar